Tuesday, February 26, 2013

Tata Kelola Pemerintahan Desa Pola Partnership


       Kebijakan “Otonomi Daerah” (OTDA) sebagaimana gagasannya tertuang pada Undang Undang (UU) no. 22/1999 dan revisinya pada UU no. 32/2004 menjadi salah satu landasan perubahan sistem tata-kelola pemerintahan (governance system) yang penting dalam sejarah pembangunan politik dan administrasi pengelolaan wilayah secara nasional. UU tersebut merupakan keputusan yang pantas disambut baik oleh semua pihak, namun sekaligus juga perlu diamati perkembangannya, dievaluasi dan selalu dikritisi secara terus-menerus agar imlementasinya tidak menyimpang dari “ruh” atau ideologi (kedaulatan, kemandirian, kesejahteraan sosial, demokratisme, keberdayaan) yang hendak diperjuangkannya.
       Dalam konsepnya, OTDA (sesuai UU 22/1999 dan penyempurnaannya pada UU 32/2004) secara eksplisit ataupun implisit hendak mengedepankan cita-cita penegakan prinsip-prinsip demokrasi (kesetaraan, kesejajaran, etika-egalitarianisme), keunggulan lokal, keberagaman, prinsip bottom-up, desentralisme administratif yang elegan dan berwibawa di tingkat lokal serta berkemampuan mengatasi persoalan riil di lapangan, penghargaan pada prakarsa serta hak-hak politik masyarakat lokal, kemandirian dan kedaulatan sistem sosial-ekonomi lokal serta pembebasan dari segala bentuk ketergantungan sosial-politik pada semua pihak.  Transparansi ketatapemerintahan dan akuntabilitas publik juga menjadi salah satu maksud diundangkannya UU tersebut. Dalam konteks efektivitas capaian atau kinerja UU, persoalan yang segera muncul adalah: apakah keseluruhan isi UU dapat segera mampu mewujudkan cita-cita di atas pada aras lokal-desa?  Dalam setting geo-sosio-kultural komunitas desa yang sangat beraneka, dapatkah UU OTDA bekerja secara efektif mewujudkan cita-cita luhur tersebut bagi masyarakat? Jika jawabannya “tidak”, maka hal-hal apakah yang perlu diperbaiki?