Wednesday, March 20, 2013

Ilmu Tafsir dan Mufasir

Kitab Suci Al-Qur'an
Sesudah Rasulullah wafat, sekelompok sahabat menekuni penafsiran Al-Quran. Mereka adalah Ubay bin Ka'b, Abdullah bin Mas'ud, Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Sa'id al-Khudri, Ab­dullah bin Zubair, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Musa al-Asy'ari, dan yang paling terkenal adalah Abdullah bin Abbas. Dalam menafsirkan Al-Quran, mereka meng­gunakan metode mengutip apa yang mereka dengar dari Rasulullah s.a.w. tentang makna ayat-ayat, yaitu dalam bentuk hadis-hadis yang ber-sanad.14) Hadis-hadis ini berjumlah lebih dari dua ratus empat puluh buah. Banyak di antaranya ber-sanad *) lemah dan matan-matan (teks-teks hadis)-nya tidak bisa dipercaya.
Kadangkala mereka menafsirkan ayat-ayat tanpa menisbat­kannya kepada Rasulullah s.a.w. Kemudian para mufasir dari kalangan Ahlus Sunnah memandang penafsiran ini sebagai bagian dari hadis Nabi, dengan alasan bahwa para sahabat menerima pengetahuan 'tentang Al-Quran dari Rasulullah, dal: tidak mungkin mereka memberikan penafsiran mereka sendiri. Tidak ada bukti kuat yang menopang pandangan mereka ini. Dan sejutnlah besar hadis tersebut berbicara tentang sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Quran dan latar belakang sejarahnya. Lagi pula, di antara hadis­hadis itu ada yang tidak memiliki sanad yang sampai kepada Nabi, dan diriwayatkan dari beberapa ulama Yahudi yang memeluk Islam, seperti Ka'b al-Ahbar dan lainnya.
Ibnu Abbas, dalam memahami makna ayat-ayat AI-Quran, sering bertumpu pada bait-bait syair. Hal ini terlihat dengan jelas dalam menjawab masalah-masalah yang dikemukakan oleh Nafi' bin al-Azraq. Ibnu Abbas menggunakan syair sebagai dalil dalam menjawab lebih dari dua ratus masalah. Dan As-Suyuthi, dalam bukunya, al-Itqan,15)  mengutip seratus sembilan puluh jawaban Ibnu Abbas. Oleh karena itu, hadis-hadis yang diriwayatkan dari para sahabat tidak dapat dipandang sebagai hadis-hadis Nabi. Begitu pula, tidak dapat dikatakan bahwa mereka sepenuhnya tidak menafsirkan Al-Quran dengan berdasarkan pendapat pribadi mereka sendiri.
Para mufasir tersebut memandang para sahabat ini sebagai kelompok-pertama mufasir. Kelompok kedua adalah dari generasi tabi'in. Mereka adalah murid-murid para sahabat seperti Mujahid, Sa'id bin Jubair, Ikrimah dan ad-Dhahak, Hasan al-Basri, Atha' bin Abi Rabah, Atha' bin Abi Muslim, Abul Aliyah, Muhammad bin Ka'b al-Kuradhi, Qatadah, 'Athiyah, Zaid bin Aslam dan Thawus al-Yamani.16)
Kelompok ketiga adalah para murid mufasir kelompok kedua, seperti Rabi' bin Anas, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, Abu Shalih al-Kilbi dan lain-lain.17)
Metode tabi'in dalam menafsirkan Al-Quran adalah menafsirkan ayat-ayat kadang-kadang dalam bentuk hadis dari Rasulullah s.a.w. atau para sahabatnya, dan kadang-kadang menerangkan arti ayat tanpa merujuk kepada siapa pun. Sikap para mufasir mutaakhir terhadap pandangan-pandangan mufasir tabi'in ini sama dengan sikap mereka terhadap hadis-hadis Nabi, dan memandang pandangan-pandangan ini sebagai hadits mauquf. 18) Dua kelompok terakhir ini disebut qudama-ul mufassirin.